Selamat Datang...

User Login

On Kamis, 25 November 2010 0 komentar

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Keluarga mempunyai peranan dan tanggungjawab utama atas perawatan dan perlindungan anak sejak bayi hingga remaja. Pengenalan anak kepada kebudayaan, pendidikan, nilai dan norma-norma kehidupan bermasyarakat dimulai dalam lingkungan keluarga.
Untuk perkembangan kepribadian anak-anak yang sempurna dan serasi, mereka harus tumbuh dalam lingkungan keluarga dalam suatu iklim kebahagiaan, penuh kasih sayang dan pengertian. Keluarga adalah sekelompok manusia yang terdiri atas suami, istri, anak-anak ( bila ada ) yang terikat atau didahului dengan perkawinan.
Keluarga Merupakan lembaga sosial yang paling kecil, yang terdiri atas ayah, ibu dan anak. Dari beberapa fungsi keluarga salah satunya adalah memberikan pendidikan yang terbaik yakni pendidikan yang mencakup pengembangan potensi-potensi yang dimiliki oleh anak-anak, yaitu : Potensi fisik, potensi nalar, dan potensi nurani / qalbu (Muhammad Tholchah Hasan 1990 : 39).
Dengan pendidikan yang utuh tersebut akan mengembangkan kualitas kepribadian anak dan mampu mengaktualisasikan potensi-potensi dirinya secara menyeluruh. Dan kualitas sumberdaya manusia ( SDM ) yang demikian sebenarnya yang dibutuhkan sekarang dan masa datang, yakni kualitas sumberdaya manusia yang meliputi kreatifitas yang kuat, produktifitas yang tinggi, kepribadian yang tangguh, kesadaran sosial yang besar, keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa ( Muhammad Tholchah Hasan 1990 : 43 ). Siswa Sekolah Menengah Atas ( SMA ) sebagai salah satu unsur sumberdaya manusia yang potensial sangat diperlukan dalam rangka mencapai kemajuan bangsa, “Di Indonesia, pendidikan diarahkan pada pembentukan manusia Indonesia seutuhnya sebagai warga Negara yang pancasila “.
Pada dasarnya, proses pendidikan dapat terjadi dalam banyak situasi sosial yang menjadi ruang lingkup kehidupan manusia. Secara garis besar proses pendidikan dapat terjadi dalam tiga lingkungan pendidikan yang terkenal dengan sebutan : Tri Logi Pendidikan, yaitu Pendidikan di dalam Keluarga ( Pendidikan Informal ), Pendidikan di dalam Sekolah ( Pendidikan Formal ), dan Pendidikan di dalam Masyarakat ( Pendidikan Non Formal ).
Pendidikan di dalam keluarga merupakan pendidikan kodrati. Apalagi setelah anak lahir, pengenalan diantara orang tua dan anak-anaknya yang diliputi rasa cinta kasih, ketentraman dan kedamaian. Anak-anak akan berkembang kearah kedewasaan dengan wajar di dalam lingkungan keluarga segala sikap dan tingkah laku kedua orang tuanya sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak, karena ayah dan ibu merupakan pendidik dalam kehidupan yang nyata dan pertama sehingga sikap dan tingkah laku orang tua akan diamati oleh anak baik disengaja maupun tidak disengaja sebagai pengalaman bagi anak yang akan mempengaruhi pendidikan selanjutnya.
1.2 Tujuan Penyusunan Makalah
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bagaimana Interaksi Edukatif Pendidikan Keluarga dalam Pendidikan Formal.
2. Untuk Mengetahui bagaimana Interaksi Edukatif Pendidikan Keluarga dalam Pendidikan Orang Dewasa.
1.3 Manfaat Penyusunan Makalah
1. Memberikan informasi mengenai hal yang tengah dibahas dalam makalah ini.
2. Dapat mengetahui tentang Interaksi Edukatif Pendidikan Keluarga dalam Pendidikan Formal dan Pendidikan Orang Dewasa.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Keluarga
2.1.1 Definisi Keluarga
Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang bersifat universal, artinya terdapat disetiap tempat di dunia (universe). Dalam arti sempit, keluarga adalah unit sosial yang terdiri atas dua orang (suami, istri) atau lebih (ayah, ibu dan anak) berdasarkan ikatan pernikahan, sedangkan dalam arti luas keluarga adalah unit sosial berdasarkan hubungan darah atau keturunan, yang terdiri atas beberapa keluarga dalam arti sempit.
Keluarga dalam bahasa Arab adalah al-asroh yang berasal dari kata al-asruyang secara etimologis mempunyai arti ikatan Kata keluarga dapat diambil kefahaman sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat, atau suatu organisasi bio-psiko-sosio-spiritual dimana anggota keluarga terkait dalam suatuikatan khusus untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan dan bukan ikatan yang sifatnya statis dan membelenggu dengan saling menjaga keharmonisan hubungan satu dengan yang lain atau hubungan silaturrahim.
2.1.2 Bentuk Keluarga
Ada berbagai jenis bentuk keluarga, menurut Kamanto Sunarto (1993), antara lain :
1. Berdasarkan Keanggotannya, keluarga dibedakan menjadi :
a. Keluarga batih (Nuclear Family) adalah keluarga terkecil yang terdiri atas ayah, ibu dan anak.
b. Keluarga Luas (Extended Family) adalah keturunan yang terdiri atas beberapa keluarga batih.
2. Berdasarkan Garis Keturunannya, keluarga dapat dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu :
a. Keluarga Patrilinial (garis keturunan ditarik dari pria atau ayah).
b. Keluarga Matrilineal (garis keturunan ditarik dari wanita atau ibu), dan
c. Keluarga Bilateral (garis keturunan ditarik dari pria dan wanita atau ayah dan ibu).
3. Berdasarkan Pemegang Kekuasaannya, keluarga dibedakan menjadi :
a. Keluarga Patriarhat (patriarchal), yaitu dominasi kekuasaan berada di pihak ayah.
b. Keluarga Matriarhat (matriarchal), yaitu dominasi kekuasaan berada pada pihak ibu, dan
c. Keluarga Equilitarian, yaitu ayah dan ibu mempunyai kekuasaan yang sama.
4. Berdasarkan Bentuk Perkawinannya keluarga dibedakan menjadi :
a. Keluarga Monomgami, yaitu pernikahan antara satu orang laki-laki dan satu orang perempuan.
b. Keluarga Poligami, yaitu pernikahan antara satu orang laki-laki dengan lebih satu orang perempuan.
c. Keluarga Poliandri, yaitu satu orang perempuan mempunyai lebih dari satu orang suami pada satu saat.
5. Berdasarkan Status Sosial Ekonominya, keluarga dibedakan menjadi :
a. Keluarga Golongan Rendah.
b. Keluarga Golongan Menengah, dan
c. Keluarga Golongan Tinggi.
6. Berdasarkan Keutuhannya keluarga dibedakan menjadi :
a. Keluarga Utuh,
b. Keluarga Pecah atau Bercerai, dan
c. Keluarga Pecah Semu, yaitu keluarga yang tidak bercerai tetapi hubungan antara suami dan istri dengan anak-anaknya sudah tidak harmonis lagi.
2.1.3 Fungsi Keluarga
Keluarga memiliki berbagai fungsi, fungsi keluarga antara lain fungsi biologi, fungsi ekonomi, fungsi edukatif, fungsi religius, fungsi sosialisasi, fungsi rekreasi, fungsi orientasi. Menurut ahli antropologi ada fungsi-fungsi keluarga yang bersifat universal, George Peter Murdock (Sudardja Adiwikarta, 1988) mengemukakan empat fungsi keluarga yang bersifat universal yaitu sebagai berikut:
1. Sebagai pranata yang membenarkan hubungan seksual antara pria dan wanita dewasa berdasarkan pernikahan.
2. Mengembangkan Keturunan.
3. Melaksanakan Pendidikan.
4. Sebagai Kesatuan Ekonomi.

2.2 Pendidikan
Kata pendidikan menurut etimologi berasal darikata dasar didik.Apabila diberi awalan me- menjadi mendidik maka akan membentuk kata kerja yang berarti memelihara dan memberi latihan (ajaran). Sedangkan bila berbentuk kata benda akan menjadi pendidikan yang memiliki arti proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.
2.3 Pendidikan Keluarga
2.3.1 Definisi Pendidikan Keluarga
Pendidikan keluarga adalah proses transformasi prilaku dan sikap di dalam kelompok atau unit sosial terkecil dalam masyarakat. Sebabkeluarga merupakan lingkungan budaya yang pertama dan utama dalammenanamkan norma dan mengembangkan berbagai kebiasaan dan prilaku yang penting bagi kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.
Kunci keberhasilan pendidikan dalam keluarga sebenarnya terletak pada pendidikan rohani dengan artian keagamaan seseorang. Beberapa hal yang memegang peranan penting dalam membentuk pandangan hidup seseorang meliputi pembinaan akidah, akhlak, keilmuan dan kreativitas yang mereka miliki. Sedangkan pendidikan dalam keluarga itu sendiri secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1. Pembinaan Akidah dan Akhlak.
2. Pembinaan Intelektual.
3. Pembinaan Kepribadian dan Sosial
Sementara itu, Al- Razi mengatakan al-asroh maknanya mengikat dengan tali, kemudian meluas menjadi segala sesuatu yang diikat baik dengan tali atau yang lain.
Dapat disimpulkan bahwa pengertian pendidikan keluarga adalah proses transformasi prilaku dan sikap di dalam kelompok atau unit sosialterkecil dalam masyarakat. Sebab keluarga merupakan lingkungan budaya yang pertama dan utama dalam menanamkan norma dan mengembangkan berbagai kebiasaan dan prilaku yang penting bagi kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.
2.3.2 Karakteristik Pendidikan Keluarga
Lingkungan pendidikan keluarga tergolong jalur pendidikan informal, adapun karakteristiknya antara lain:
1. Tujuan pendidikannya lebih menekankan pada pengembangan karakter.
2. Peserta didiknya bersifat heterogen.
3. Isi pendidikannya tidak terprogram secara formal/tidak ada kurikulum tertulis.
4. Tidak berjenjang.
5. Waktu pendidikan tidak terjadwal secara ketat, relatif lama.
6. Cara pelaksanaan pendidikan bersifat wajar.
7. Evaluasi pendidikan tidak sistematis dan insidental.
8. Credentials tidak ada dan tidak penting.
2.3.3 Tujuan dan Isi Pendidikan Keluarga
Sekalipun tidak ada tujuan pendidikan dalam keluarga yang dirumuskan secara tersurat, tetapi secara tersirat dipahami bahwa tujuan pendidikan dalam keluarga pada umumnya adalah agar anak menjadi pribadi yang mantap, beragama, bermoral dan menjadi anggota masyarakat yang baik.
Memperhatikan tujuan tersebut maka pendidikan keluarga dapat dipandang sebagai persiapan ke arah kehidupan anak dalam masyarakatnya. Adapun isi pendidikan dalam keluarga biasanya, meliputi nilai agama, nilai budaya, nilai moral dan keterampilan. Sesuai dengan sifatnya (informal), keluarga memiliki kurikulum formal atau kurikulum tertulis.
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama. Dikatakan sebagai pendidikan yang pertama karena pertama kali anak mendapatkan pengaruh pendidikan dari dan didalam keluarganya. Sedangkan dikatakan sebagai pendidikan yang utama karena sekalipjun anak mendapatkan pendidikan dari sekolah dan masyarakatnya, namun tanggung jawab kodrati pendidikan terletak pada orang tuanya. Dari uraian terdahulu dapat pula dipahami bahwa fungsi pendidikan dalam keluarga adalah:
1. Sebagai pelentak dasar pendidikan anak.
2. Sebagai persiapan kearah kehidupan anak dalam masyarakatnya
3. Situasi Keluarga Mempengaruhi Pendidikan Anak
Berbagai faktor yang ada dan terjadi didalam keluarga akan turut menentukan kualitas hasil pendidikan anak. Jenis keluarga, gaya kepemimpinan orang tua, kedudukan anak dalam urutan keanggotaan keluarga, fasilitas yang ada dalam keluarga, hubungan keluarga dengan dunia luar, status sosial ekonomi orang tua dan sebagainya akan turut mempengaruhi situasi pendidikan dalam keluarga yang ada pada akhirnya akan turut pula mempengaruhi pribadi anak.


2.3.4 Penaggung Jawab Pendidikan dalam Keluarga
Salah satu fungsi keluarga adalah melaksanakan pendidikan. Dalam hal ini orang tua (ibu dan ayah) adalah pengemban tanggung jawab pendidikan anak. Secara kodrati orang tua bertanggung jawab atas pendidikan anak dan atas kasih sayangnya orang tua mendidik anak. Orang yang berperan sebagai pendidik bagi anak di dalam keluarga utamanya adalah ayah dan ibu. Selain mereka, saudara-saudaranya yang sudah dewasa yang masih tinggal serumah pun akan turut bergaul dengan anak sehingga akan turut mempengaruhi bahkan mendidiknya. Apalagi dalam keluarga luas (extended family), kakek, nenek, paman, bibi bahkan pembantu rumah tangga pun turut serta bergajul dengan anak, mereka juga akan turut mempengaruhi atau mendidik anak. Menyimak hal itu, pergaulan pendidikan di dalam keluarga terkadang tidak berlangsung hanya dilkaukan oleh orang tua (ayah, ibu) dan anaknya saja.
2.4 Interaksi Edukatif Pendidikan Keluarga
2.4.1 Definisi Interaksi Edukatif
Proses interaksi edukatif adalah suatu proses yang mengandung sejumlah norma, semua norma itulah yang harus guru transfer kepada anak didik, karena itu wajarlah bila interaksi edukatif tidak berproses dalam kehampaan, tetapi dalam penuh makna, interaksi edukatif sebagai jembatan yang menghidupkan persenyawaan antara pengetahuan dan perbuatan, yang mengantarkan kepada tingkah laku sesuai dengan pengetahuan yang diterima anak didik.
Interaksi yang dikatakan sebagai interaksi edukatif, apabila secara sadar mempunyai tujuan untuk mendidik, untuk mengantarkan anak didik ke arah kedewasaannya.
2.4.2 Karakteristik Interaksi Edukatif
Sebagai interaksi yang bernilai normatif, maka interaksi edukatif mempunyai ciri sebagai berikut:
1. Interaksi Edukatif mempunyai tujuan.
Tujuan dalam interaksi edukatif adalah membantu anak didik dalam suatu perkembangan tertentu, inilah yang dimaksud interaksi edukatif sadar akan tujuan, dengan menempatkan anak didik sebagai pusat perhatian, sedangkan unsur lainnya sebagai pengantar dan pendukung.
2. Interaksi edukatif ditandai dengan penggarapan materi khusus.
Dalam hal ini materi harus didesain sedemikian rupa dan disiapkan sebelum berlangsungnya interaksi edukatif sehingga cocok untuk mencapai tujuan. Dalam hal ini perlu memperhatikan komponen-komponen pengajaran yang lain.
3. Ditandai dengan aktivitas anak didik.
Sebagai konsekuensi bahwa anak didik merupakan sentral maka aktivitas anak didik merupakan syarat mutlak bagi berlangsungnya interaksi edukatif, aktivitas anak didik dalam hal ini baik secara fisik maupun mental aktif inilah yang sesuai dengan konsep CBSA.
4. Guru berperan sebagai pembimbing.
Guru berperan sebagai pembimbing dalam belajar, guru diharapkan mampu untuk mengenal dan memahami setiap siswa baik secara individu maupun kelompok, memberikan penerangan kepada siswa mengenai hal-hal yang diperlukan dalam proses belajar, memberikan kesempatan yang memadai agar setiap siswa dapat belajar sesuai dengan kemampuan pribadinya, membantu siswa dalam mengatasi masalah-masalah pribadi yang dihadapinya, menilai keberhasilan setiap langkah kegiatan yang telah dilakukannya.
Dalam penerapannya sebagai pembimbing, guru harus berusaha menghidupkan dan memberikan motivasi agar terjadei proses interaksi edukatif yang kondusif. Guru harus siap sebagai mediator dalam segala situasi proses interaksi edukatif, sehingga guru merupakan tokoh yang akan dilihat dan ditiru tingkah lakunya oleh anak didik.
5. Mempunyai batas waktu.
Untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu dalam sistem berkelas (kelompok anak didik) batas waktu menjadi salah satu ciri yang tidak bisa ditinggalkan, setiap tujuan akan diberi waktu tertentu, kapan tujuan haris sudah tercapai.
6. Menggunakan metode.
Metode belajar adalah sistem penggunaan teknik-teknik didalam interaksi antara guru dan anak didik dalam progeram belajarmengajar sebagai proses pendidikan. Teknik yang dapat digunakan dalam interaksi dan komunikasi itu antara lain bermain, tanya jawab, ceramah, diskusi, peragaan, eksperimen, kerja kelompok, sosio drama, karya wisata dan modul.
7. Diakhiri dengan evaluasi.
Sebagai alat penilaian hasil pencapaian tujuan dalam pengajaran, evaluasi harus dilakukan secara terus menerus. Evaluasi tidak hanya sekedar menentukan angka keberhasilan belajar tetapi yang lebih penting adalah sebagai dasar untuk umpan balik (feed back) dari proses interaksi edukatif yang dilaksanakan
2.4.3 Interaksi Edukatif Keluarga dalam Pendidikan Formal
Keluarga adalah institusi yang sangat berperan dalam rangka melakukan sosialisasi, bahkan internalisasi, nilai-nilai pendidikan. Meskipun jumlah institusi pendidikan formal dari tingkat dasar sampai ke jenjang yang paling tinggi semakin hari semakin banyak, namun peran keluarga dalam transformasi nilai edukatif ini tetap tidak tergantikan.
Karena itulah, peran keluarga dalam hal ini tak ringan sama sekali. Bahkan bisa dikatakan bahwa tanpa keluarga, nilai-nilai pengetahuan yang didapatkan di bangku meja formal tidak akan ada artinya sama sekali. Sekilas memang tampak bahwa peran keluarga tidak begitu ada artinya, namun jika direnungkan lebih dalam, siapa saja akan bisa merasakan betapa berat peran yang disandang keluarga.
Problem yang dialami oleh ‘anak jalanan’ untuk memperoleh pendidikan salah satunya adalah minusnya, bahkan tak adanya, peran keluarga ini. Kalaupun akhirnya mereka bersekolah, mereka hanya mendapatkan pengetahuan formal saja. Sementara kasih sayang, sopan santun, moralitas, cinta dan berbagai nilai afektif lainnya sulit mereka dapatkan. Mereka merasa tidak ada tempat yang baik untuk berlindung dan mengungkapkan seluruh perasaan secara utuh dan bebas.
Umumnya mereka tidak memiliki keluarga yang mengemban peran tersebut. Kalaupun mereka memiliki keluarga, tidak ada situasi yang kondusif untuk saling berbagi perasaan antar anggota dalam sebuah keluarga. Ini merupakan salah satu kesulitan yang dihadapi oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang mencoba memberdayakan ‘anak jalanan’. Mungkin persoalan sulitnya bagaimana dia mendapatkan pendidikan secara formal, tidak sesulit bagaimana dia memperoleh kasih sayang sejati.
2.4.4 Interaksi Edukatif Keluarga dalam Pendidikan Orang Dewasa
Mendidik orang dewasa berbeda dari mendidik anak-anak dalam beberapa cara. Salah satu perbedaan yang paling penting adalah bahwa orang dewasa memiliki akumulasi pengetahuan, pengalaman kerja atau dinas militer yang dapat menambah pengalaman belajar. Perbedaan lain adalah bahwa pendidikan yang paling dewasa bersifat sukarela, oleh karena itu, para peserta umumnya lebih termotivasi.
Pada dasarnya Interaksi Edukatif Keluarga dalam Pendidikan Orang Dewasa berbeda dengan Interaksi Edukatif Keluarga dalam Pendidikan Formal yang cenderung befokus pada peserta didik pada jenjang mengah. Interaksi Edukatif Keluarga dalam Pendidikan Orang Dewasa pada umunya lebih kepada pemberian motivasi dan dukungan.
Jika interaksi dalam pendidikan keluarga dengan pendidikan formal lebih cenderung terhadapa penanaman nilai-nilai, maka dalam pendidikan orang dewasa lebih cenderung memantapkan nila-nilai yang telah ia terima sebelumnya dalam upaya pencarian jati dirinya.
Bagi seorang pendidik, ada beberapa prinsip yang hars difahami mengenai pendidikan orang dewasa, diantaranya :
1. Recency
Hukum dari Recency menunjukkan kepada kita bahwa sesuatu yang dipelajari atau diterima pada saat terakhir adalah yang paling diingat oleh peserta/ partisipan. Ini menunjukkan dua pengetian yang terpisah di dalam pendidikan. Pertama, berkaitan dengan isi (materi) pada akhir sessi dan kedua berkaitan dengan sesuatu yang “segar” dalam ingatan peserta. Pada aplikasi yang pertama, penting bagi pelatih untuk membuat ringkasan (summary) sesering mungkin dan yakin bahwa pesan-pesan kunci/inti selalu ditekankan lagi di akhir sessi. Pada aplikasi kedua, mengindikasikan kepada pelatih untuk membuat rencana kaji ulang (review) per bagian di setiap presentasinya.
2. Appropriatenes ( Kesesuaian )
Hukum dari appropriatenes atau kesesuaian mengatakan kepada kita bahwa secara keseluruhan, baik itu pelatihan, informasi, alat-alat bantu yang dipakai, studi kasus -studi kasus, dan material-material lainnya harus disesuaikan dengan kebutuhan peserta/partisipan. Peserta akan mudah kehilangan motivasi jika pelatih gagal dalam mengupayakan agar materi relevan dengan kebutuhan mereka. Selain itu, pelatih harus secara terus menerus memberi kesempatan kepada peserta untuk mengetahui bagaimana keterkaitan antara informasi-informasi baru dengan pengetahuan sebelumnya yang sudah diperolah peserta, sehingga kita dapat menghilangkan kekhawatiran tentang sesuatu yang masih samar atau tidak diketahui.
3. Motivation ( Motivasi )
Hukum dari motivasi mengatakan kepada kita bahwa pastisipan/peserta harus punya keinginan untuk belajar, dia harus siap untuk belajar, dan harus punya alasan untuk belajar. Pelatih menemukan bahwa jika peserta mempunyai motivasi yang kuat untuk belajar atau rasa keinginan untuk berhasil, dia akan lebih baik dibanding yang lainnya dalam belajar. Pertama-tama karena motivasi dapat menciptakan lingkungan (atmosphere) belajar menjadi menye-nangkan. Jika kita gagal menggunakan hukum kesesuaian (appropriateness) tersebut dan mengabaikan untuk membuat material relevan, kita akan secara pasti akan kehilangan motivasi peserta.
4. Primacy ( Menarik di Awal Sesi )
Hukum dari primacy mengatakan kepada kita bahwa hal-hal yang pertama bagi peserta biasanya dipelajari dengan baik, demikian pula dengan kesan pertama atau serangkaian informasi yang diperoleh dari pelatih betul-betul sangat penting. Untuk alasan ini, ada praktek yang bagus yaitu dengan memasukkan seluruh poin-poin kunci pada permulaan sessi. Selama sessi berjalan, poin-poin kunci berkembang dan juga informasi-informasi lain yang berkaitan. Hal yang termasuk dalam hukum primacy adalah fakta bahwa pada saat peserta ditunjukkan bagaimana cara mengerjakan sesuatu, mereka harus ditunjukkan cara yang benar di awalnya. Alasan untuk ini adalah bahwa kadang-kadang sangat sulit untuk “tidak mengajari” peserta pada saat mereka membuat kesalahan di permulaan latihan.
5. Two Way Communication ( Komunikasi Dua Arah )
Hukum dari 2-way-communication atau komunikasi 2 arah secara jelas menekankan bahwa proses pelatihan meliputi komunikasi dengan peserta, bukan pada mereka. Berbagai bentuk penyajian sebaiknya menggunakan prinsip komunikasi 2 arah atau timbal balik. Ini tidak harus bermakna bahwa seluruh sessi harus berbentuk diskusi, tetapi yang memungkinkan terjadinya interaksi di antara pelatih/fasilitator dan peserta/partisipan.
6. Feedback ( Umpan Balik )
Hukum dari feedback atau umpan balik menunjukkan kepada kita, baik fasilitator dan peserta membutuhkan informasi satu sama lain. Fasilitator perlu mengetahui bahwa peserta mengikuti dan tetap menaruh perhatian pada apa yang disampaikan, dan sebaliknya peserta juga membutuhkan umpan balik sesuai dengan penampilan/kinerja mereka.
7. Active Learning ( Belajar Aktif )
Hukum dari active learning menunjukkan kepada kita bahwa peserta belajar lebih giat jika mereka secara aktif terlibat dalam proses pelatihan. Ingatkah satu peribahasa yang mengatakan “Belajar Sambil Bekerja” ? Ini penting dalam pelatihan orang dewasa. Jika anda ingin memerintahkan kepada peserta agar menulis laporan, jangan hanya memberitahu mereka bagaimana itu harus dibuat tetapi berikan kesempatan agar mereka melakukannya. Keuntungan lain dari ini adalah orang dewasa umumnya tidak terbiasa duduk seharian penuh di ruangan kelas, oleh karena itu prinsip belajar aktif ini akan membantu mereka supaya tidak jenuh.
8. Multi Sense Learning
Hukum dari multi- sense learning mengatakan bahwa belajar akan jauh lebih efektif jika partisipan menggunakan lebih dari satu dari kelima inderanya. Jika anda memberitahu trainee mengenai satu tipe baru sandwich mereka mungkin akan mengingatnya. Jika anda membiarkan mereka menyentuh, mencium dan merasakannya dengan baik, tak ada jalan bagi mereka untuk melupakannya.
9. Exercise ( Latihan )
Hukum dari latihan mengindikasikan bahwa sesuatu yang diulang-ulang adalah yang paling diingat. Dengan membuat peserta melakukan latihan atau mengulang informasi yang diberikan, kita dapat meningkatkan kemungkinan mereka semakin mampu mengingat informasi yang sudah diberikan. Yang terbaik adalah jika pelatih menambah latihan atau mengulangi pelajaran dengan mengulang informasi dalam berbagai cara yang berbeda. Mungkin pelatih dapat membicarakan mengenai suatu proses baru, lalu menunjukkan diagram/overhead, menunjukkan produk yang sudah jadi dan akhirnya minta kepada peserta untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Latihan juga menyangkut intensitas. Hukum dari latihan juga mengacu pada pengulangan yang berarti atau belajar ulang.
2.5 Artikel Pendidikan
Judul : Desain Pendidikan Bebas Untuk Anak Jalanan
Sumber : http://kafeilmu.co.cc
Para pengelolah dan praktisi pendidikan di negeri ini selalu saja memahami persoalan pendidikan ini dengan kacamata konservatif sehingga tanpa sadar pendidikan formal berubah menjadi ruang status quo. Lalu posisi keluarga itu sendiri dimana, bagi anak jalanan, keluarga mereka tentu tidak bisa mendidik seperti halnya keluarga mapan yang bisa mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Namun ternyata tidak sekedar selesai ditaraf mencukupi saja, adanya pemahaman dan persepsi yang harus dibangun tentang masyarakat dan keluarga modern dengan standarisasi dan klaifikasi tertentu yang membangun persepsi dasar bahwa anak jalanan adalah bentuk kehidupan anak yang tidak modern sehinga tidak ada ruang buat mereka dalam kehidupan yang serba canggih ini.
Bukanlah satu hal yang mengada-ada bila kemudian para orang tua lebih memilih untuk memperpanjang proteksi anak-anaknya untuk berada di dalam rumah sebab lingkungan di luar rumah dianggap sebagai “liar” dan mengancam masa depan anaknya. Pilihan untuk memperpanjang masa proteksi anak-anak inilah yang kemudian ditangkap sebagai peluang dagang oleh para pengusaha.
Belakangan ini dengan mudah kita bisa melihat berbagai produk atau media untuk membantu penyiapan masa transisi anak-anak. Program televisi yang jelas menggunakan kata ( televisi ) Pendidikan Indonesia adalah salah satu contoh terbaiknya. Selain itu berbagai media cetak juga mengeluarkan berbagai produk bagaimana menyiapkan anak secara “baik dan benar” dalam rangka pengembangan sumber daya pembangunan. Para orang tua pada. gilirannya akan lebih mengacu pada berbagai media itu sendiri dibandingkan pada peristiwa sehari-hari yang dialami oleh anaknya.
Dalam posisi ini, peluang untuk memposisikan anak janan sebagai sampah masyarakat nampak semakin jelas. Karena tidak mungkin mereka (anak jalanan) mampu menghidupi dirinya dengan jalan konstruktif seperti itu. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Paulo Freire sebagai peletak dasar dari filosofi pendidikan kritis, bahwa dalam posisi ini anak jalanan mengalami penindasan yang tidak berkesudahan sehingga mereka tidak bisa menemukan konteks hidup dalam realitas mereka. Disisi lain Erich Fromm menjelaskan secara mental pisikologis manusia menuntut dirinya untuk bebas dan lepas dari segala bentuk penindasan.
Ini tentu tidak didapatkan pada setiap individu anak jalanan, ruang kebebasan mereka terus dibatasi oleh berbagi macam bentuk penyingkiran dan streotip yang menganggap mereka sebagi perusuh dan biang keladi kekacauan tatanan kota.
Pandangan dominan ini, masih memvonis Anak jalanan sebagai “anak liar”, “kotor” “biang keributan”, dan “pelaku kriminal”. Adanya stigmatisasi ini tentu saja akan melahirkan tindakan-tindakan yang penuh prasangka dan cenderung akan mengesahkan jalan kekerasan di dalam menghadapi anak jalanan. Seandainya-pun terjadi berbagai bentuk kekerasan yang keji dan tidak manusiawi atau sampai menghilangkan nyawa, peristiwa tersebut belum tentu menjadi kegelisahan dan menggelitik hati nurani publik. Atau bisa jadi ada pihak yang justru mensyukuri dan menilai bahwa peristiwa tersebut memang layak diterima oleh anak-anak jalanan.
Menghapus stigmatisasi di atas menjadi sangat penting. Patut disadari bahwa anak-anak jalanan adalah korban baik sebagai korban di dalam keluarga, komunitas jalanan, dan korban pembangunan. Untuk itu kampanye perlindungan terhadap anak jalanan perlu dilakukan secara terus menerus setidaknya untuk mendorong pihak-pihak di luar anak jalanan agar menghentikan aksi-aksi kekerasan, memberi ruang pendidikan.
Untuk mengarah kesana, tentu pendidikan dan desain pembelajaran mereka tidak sama dengan bentuk dan desain pendidikan formal yang selama ini terus dipromosikan menjadi yang terbaik. Akan tetapi, dibutuhkan ruang yang berbeda untuk mewadahi mereka yang secara basic dan pengalaman berbeda dengan anak-anak yang cukup beruntung bersekolah di ruang yang penuh fasilitas dan desain pembelajaran yang serba mahal.
Komentar :
Sesuai dengan bunyi UUD pasal 31 bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran dan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang diatur dengan undang-undang”. Jika kita baca artikel di atas tentunya kita dapat melihat bahwa pendidikan kita ini belum mengacu kepada UUD tersebut. Tidak setiap warga negara bisa mendapatkan pendidikan sesuai dengan apa yang tetcantum dalam UUD tersebut.
Jika kita kaji, ternyata pendidikan tersebut hanya bisa didapatkan oleh anak-anak yang orang tuanya memiliki kemampuan untuk membayar biaya sekolah, dan bagi mereka para anak jalanan khususnya sangat sulit sekali untuk mendapatkan pendidikan itu. Hal ini diperparah dengan tidak adanya perhatian para orang tua mereka, yang terkadang lebih memaksa mereka untuk bekerja dibandingkan untuk bersekolah.
Ternyata lagi-lagi peran orang tua lah yang menjadi faktor utama dalam pendidikan anak-anak tersebut disamping keterlibatan pemerintah dalam menyediakan fasilitas pendidikan bagi anak-anak jalanan seperti mereka. Keadaan ini sangat miris sekali di negara kita.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam proses pendidikan, peran keluarga sangatlah penting khusunya di dalam menjalin interaksi edukatif dengan lembaga pendidikan. Interaksi edukatif pendidikan keluarga dalam pendidikan formal yaitu proses timbal balik antara pendidikan keluarga yang menjadi dasar penanaman nilai serta norma-norma yang diperlukan dalam proses pendidikan formal. Dalam pendidikan orang dewasa, pendidikan keluarga berperan sebagai motivator bagi pencapaian tujuan pendidikannya. Interaksi Pendidikan keluarga dengan berbagai jenjang pendidikan ini ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku anak yang merupakan tjuan dari pendidikan.
3.2 Saran
Interaksi edukatif sangatlah berperan penting dalam pencapain tujuan pendidikan itu sendiri, agar terjadi interaksi yang efektif antara guru dan siswa, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan, anatara lain :
1. Ada tujuan yang ingin dicapai
2. Ada bahan / pesan yang menjadi isi interaksi
3. Ada pelajaran yang aktif mengalami
4. Ada guru yang melaksanakan
5. Ada metode untuk mencapai tujuan
6. Ada situasi yang memungkinkan proses belajar-mengajar berjalan dengan baik
7. Ada penilaian terhadap hasil interaksi.
DAFTAR PUSTAKA
Bahri Djamarah, Sayaiful. 2000. Guru dan anak didik dalam interaksi edukatif. Jakarta: Rineka Cipta.
Sardiman. 2000. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo.
Sumber Lain :
http://akhmadsudrajat.wordpress.com
http://kafeilmu.co.cc

0 komentar:

Posting Komentar